Selasa, 06 Januari 2009

Achmad Djunaid dan Kospin JASA

Tulisan ini saya ambil dari situs milik Kospin Jasa, bercerita tentang Achmad Djunaid, salah satu tokoh yang dulu pernah gigih memperjuangakan koperasi agar bisa maju dan berkembang...


Bagi masyarakat Pekalongan, nama H.A Djunaid dikenal sebagai orang yang melegenda .Salah satu monumen ekonomi yang dibangun bersama beberapa pengusaha etnis Arab dan Cina adalah Kospin Jasa, yang sekarang menjadi koperasi simpan-pinjam terbesar di Indonesia.


"Di antara tamu-tamu yang duduk di lobi sebuah kantor Kementerian, lelaki itu tampak duduk tenang. Mengenakan stelan semi jas yang diterika rapi dan bersepatu mengkilat. Matanya rajin memperhatikan tiap orang yang keluar-masuk ruangan, tempat Pak Menteri menerima para tamunya. Begitu dia mengenali seorang ajudan, hatinya merasa lega. Dia tahu benar bagaimana cara memotong jalur protokoler yang sering bertele-tele untuk bertemu seorang Menteri. Itu salah satu keahlian Pak Djunaid. Urusan yang bagi orang lain mesti memakan waktu lama, bisa dipersingkat lewat lobi oleh Pak Djunaid," tutur H. Mukmin Bakri, seorang saksi hidup berdirinya Kospin Jasa.


Para pengusaha Pekalongan, yang kebanyakan adalah pengusaha batik dan tekstil, bergabung dalam Koperasi PPIP (Pengusaha Perbatikan Indonesia Pekalongan). Koperasi yang didirikan pada 1948 ini, tutur Mukmin, mulai limbung perkembangannya pasca G30S/PKI 1965. Dekade 1950 960-an masa kejayaan koperasi. Kegiatan ekonomi kerakyatan digerakkan oleh koperasi-koperasi,


Bung Hatta yang kala itu menjadi Wakil Presiden, sangat gigih memperjuangkan koperasi. Di sinilah hubungan Bung Hatta dengan tokoh-tokoh koperasi seperti Djunaid, terjalin amat akrab dan mesra. Hubungan akrab Pak Djunaid bukan hanya dengan Bung Hatta, tapi juga dengan para menteri. Mereka sangat konsern pada koperasi, kisah Mukmin, yang pernah menjadi Ketua Kospin Jasa itu.


Keadaan ekonomi berubah seiring bergantinya kekuasaan dari pemerintah Orde Lama ke Orde Baru, yang dikomando oleh Presiden Soeharto. Kejayaan koperasi menyurut drastis. Roda ekonomi bukan lagi digerakkan oleh ekonomi kerakyatan yang berbasis koperasi, malainkan konglomerasi yang serba membutuhkan modal sangat besar, tutur Adi Sasono, Menteri Koperasi pada periode Presiden Habibie.


Untuk mengembangkan diri menjadi besar, koperasi butuh modal besar pula. Menjelang tahun 1970-an, memang sangat dilematis, kata Mukmin. Di satu pihak koperasi susah untuk mengurus diri sendiri, di lain pihak mereka harus bersaing dengan para perusahaan besar (multinasional) yang memperoleh fasilitas dana dan berbagai kebijakan dari pemerintah.

Bank-bank yang ada, terutama bank-bank pemerintah waktu itu seperti BRI, bukan lembaga keuangan yang dekat dengan koperasi. Makanya, cita-cita Pak Djunaid waktu itu sebenarnya mendirikan bank sendiri, khususnya untuk para pengusaha Pekalongan, tutur Mukmin. Cita-cita itu bagai menggantang asap. Alasannya, kata Mukmin, Mana mungkin awal 1970-an orang bisa bikin bank sendiri.


Dalam keadaan buntu itulah, Djunaid menempuh terobosan yang menentukan. Beberapa pengusaha yang pernah diajak berembuk untuk membuka bank, dia yakinkan untuk untuk mendirikan koperasi simpan-pinjam. Jadilah, Kospin Jasa. Nama itu atas usul Pak Mirza, tutur Mukmin mengingatkan. Mirza yang dimaksud adalah Mirza Djahri, yang juga pernah menjadi Ketua Kospin Jasa, menggantikan H.A. Djunaid yang meninggal pada 1982.


Ketokohan Djunaid yang dikenal sebagai orang kaya di Pekalongan, makin mencorong. Namun, bukan berarti perjalanan Kospin Jasa begitu saja mulus. Banyak orang yang ragu, karena belum ada bukti koperasi simpan-pinjam itu bisa besar, kata Mukmin.


Tak sedikit pula yang melontarkan kelakar bernada sinis; di saat orang butuh modal, malah disuruh menyimpan. Mukmin bercerita, di kalangan para pengusaha batik sendiri bahkan banyak yang mau pinjam uang dulu, lalu dengan uang pinjaman itu mereka akan ikut iuran menjadi anggota Kospin Jasa.

Terlebih lagi, para pengusaha yang diajak Djunaid bukan cuma terbatas pada pengusaha batik (pribumi) Pekalongan, tapi juga kalangan Arab dan Cina. Menurut Mukmin, itu sebenarnya konsern Djunaid pada keadaan ekonomi secara umum. Jadi, bukan hanya melulu problem ekonomi orang pribumi Pekalongan saja, katanya.

Alasan lain menyebutkan, itu justru menunjukkan luasnya pergaulan dan gagasan Djunaid untuk membangun ekonomi kerakyatan Indonesia. Ekonomi kerakyatan Indonesia tak lain adalah koperasi itu. Pak Djunaid itu memang orang koperasi. Kalau bicara ekonomi, tentu dari sudut koperasi, tutur Sachroni, Sekretaris Kospin Jasa, yang direkrut menjadi pegawai Kospin Jasa sejak Februari 1974.


Realitas sosial masyarakat Pekalongan era 1960-an agaknya juga ikut menjadi pertimbangan Djunaid untuk menyatukan semua potensi ekonomi dalam sebuah koperasi, baik pribumi, Arab, mau pun Cina. Hubungan sosial ketiga etnis itu memang tidak semesra sekarang. Kalau berantem terus, kapan kita bisa membangun masyarakat lewat ekonomi,tutur Zaky Arslan, Ketua Kospin Jasa, yang pada dekade 1960-an aktif dalam ormas pelajar Islam.



(sumber : http://www.kospinjasa.com/berita-dari-majalah-masa/kecelakaan-sejarah-yang-indah.html )



Mengenang Achmad Djunaid

Lintas Tiga Generasi di Koperasi

Mengenang H. Ahmad Djunaid
Generasi muda koperasi, mungkin tak pernah mengenal H. Ahmad Djunaid, yang meninggal dunia tahun 1982. Tak demikian dengan tokoh tua yang berkiprah di koperasi, misalnya di Jakarta, setidaknya pasti pernah mendengar akan namanya. Apalagi di tanah kelahirannya-Pekalongan, tentu tidak asing lagi.
Djunaid, yang punya keturunan sepuluh orang putra-putri serta sejumlah cucu, semasa hidupnya berkiprah di koperasi, sampai akhir hayatnya. Ada tiga koperasi sekaligus dipimpinnya sejak tahun 1952 hingga tahun 1982. Dua di Pekalongan, yaitu Koperasi Batik PPIP (Persatuan Pembatikan Indonesia Pekalongan), Koperasi Simpan Pinjam Jasa (Kospin Jasa), dan satu di Jakarta, Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI).

Dua diantara yang pernah dipimpinnya ini, telah tumbuh menjadi koperasi-koperasi raksasa dilihat dari besar asetnya. GKBI misalnya, selain memiliki sebuah gedung pencakar langit betingkat 34, di Jl. Sudirman Jakarta Pusat, juga punya selusin pabrik tekstil yang tersebar di Jakarta, Bekasi, Cirebon, Pekalongan, Batang dan Yogyakarta. Asetnya sudah mencapai tiga triliun rupiah, dan merupakan koperasi paling kaya di tanah air.

Begitu pula dengan Kospin Jasa, yang dulu pendiriannya diprakarsai beliau, merupakan koperasi simpan pinjam terbesar di Nusantara. Kantor cabangnya tak kurang dari 57 unit, tersebar mulai dari Banten hingga di Jawa Timur. Asetnya sudah menunjuk angka satu triliun rupiah.

Uniknya, dua koperasi maha besar ini, justru dipimpin oleh dua orang generasi penerusnya. Yakni Noorbasha Djunaid (putra pertama) di GKBI dan A. Zaky Arslan Djunaid (putra ketiga) di Kospin Jasa. Lintas tiga generasi telah terjadi di keluarga Djunaid. Sebab satu diantara cucunya, yaitu Andi-putra Zaky Arslan juga mengikuti jejak kakeknya, dan sekarang memimpin Kospin Jasa, cabang Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.

Djunaid, juragan batik di Pekalongan yang lahir 17 Agustus tahun 1921, memulai karirnya di koperasi, dengan jalan mendirikan Primer Koperasi Batik PPIP tahun 1952. Sukses memimpin koperasi ini, menghantarkannya menjadi orang nomor satu di koperasi tingkat nasional GKBI tahun 1957, dan berlanjut hingga tahun 1978. Dalam polesan tangannyalah GKBI pertama kali melambung menjadi pelaku ekonomi handal dibidang perdagangan tekstil.

Kepiawaiannya melobi para petinggi negara, terutama Wakil Presiden Bung Hatta, yang juga Bapak Koperasi, telah menghantarkan GKBI ketiban durian runtuh. Oleh pemerintah ditunjuk menjadi pelaku importir tunggal tekstil, terutama untuk bahan baku kain mori, serta obat-obatan yang berkaitan dengan pembuatan tekstil. Pada dekade lima hingga tahun tujuhpuhan GKBI sudah masuk perusahaan papan atas. Di mana-mana pabrik tekstilnya ada. Sebut saja misalnya PT Medarindoteks, PT Primissima (keduanya di Yogyakarta), PT Dainichi dan PT Promatexco di Batang, itu didirikan semasa masih kepemimpinannya. Melalui kejayaan GKBI, primer koperasi batik anggotanya turut pula menikmati manisnya perdagangan tekstil.

Ibnoe Soedjono, Dirjen Koperasi waktu itu bercerita, GKBI bisa menimbun harta kala itu, tak terlepas dari andil besar Djunaid. Buah pikirannya yang cukup brilian, telah membawa GKBI tumbuh kokoh tak tergoyahkan. Merasa monopoli importir tunggal tidak selamanya dinikmati, sejak pagi-pagi Djunaid sudah mengantisipasinya. Kesempatan yang diberikan, memang tidak dibiarkan berlalu begitu saja. Sari madunya sempat di endapkannya untuk bekal dikemudian hari.

Kalaupun kemudian GKBI sempat jatuh-bangun, dan nyaris asetnya disita akibat terlilit hutang, setelah beliau meninggal dunia, itu merupakan kecelakaan ekonomi di luar jangkauan. Yang pasti, GKBI sekarang ini ditangan generasi penerusnya terus menanjak bertengger di singgasana.

Djunaid telah mewariskan tatanan ekonomi kerakyatan yang monumental berbasis koperasi. Berkat kebijakannya mengatur penyaluran bahan baku batik kepada anggotanya, koperasi-koperasi batik di mana-mana mampu mendirikan pabrik-pabrik Cambrics. Soal pabrik itu kini banyak menjadi besi tua, tuntutan zamanlah yang menghendakinya.

Dimata Ibnoe Soedjono, Djunaid yang sudah dikenalnya sejak masih sekolah di Pekalongan, adalah “orang kuat”. Seorang tokoh koperasi yang tetap konsisten berjalan dikoridornya. Dalam menjalankan usaha koperasi, tidak sekalipun melanggar rambu-rambu, sesuai jatidirinya. “Sesungguhnya, kita telah kehilangan seorang panutan dibidang koperasi” ujarnya.

Orang pertama dari gerakan koperasi yang pernah memperoleh bintang jasa dari pemerintah R.I. berupa Satya Lencana Pembangunan adalah Ahmad Djunaid. Kata Ibnoe, dia pulalah yang waktu itu mengusulkannya, mengingat jasa-jasa beliau yang memang sukses mengembangkan koperasi. Bintang jasa itu diperoleh tahun 1972. Djunaid adalah juga satu di antara penerima penghargaan Hatta Nugraha.

Sisi lain yang juga patut dikenang dari beliu, adalah buah pikiran yang mempersatukan tiga etnis di Pekalongan. Pribumi, Cina dan Arab diajak bersatu padu - berhimpun dalam wadah koperasi. Itulah Kospin Jasa, koperasi simpan pinjam paling populer di tanah air. Hingga kini tiga suku bangsa ini tetap mewarnai keanggotaan koperasi ini. “Termasuk dalam struktur kepengurusannya” tutur Sachroni, Sekretaris Umum Kospin Jasa.

Djunaid memang pantas jadi panutan. Meskipun kaya dan pebisnis ulung, ia juga seorang muslim yang soleh. Sebagai gambaran, karyawan yang menerima gaji, sebelum dibawa ke rumah selalu disarankannya untuk menyisihkan zakat. Hal senada juga diutarakan oleh Rofiqur Rusdi, Sekretaris Koperasi Batik PPIP yang juga didirikannya, sejumlah aset koperasi ini berupa bangunan dan tanah diberikan untuk pendidikan muslim. Ada Madrasah, SMU Muslim, TK Muslim dan tempat ibadah.

Djunaid yang punya tujuh saudara kandung dari ayah bernama Nurwiryo Atmojo dan ibu Munjiati, adalah pemuda pejuang, yang ikut memanggul senjata zaman kemerdekaan. Semasa hidupnya, sejumlah negara telah dikunjunginya demi mengembangkan perkoperasian. Antara lain Amerika Serikat, Swedia, Denmark, Jerman, Norwegia, Saudi Arabia dan negara-negara Asean.

(http://www.majalah-pip.com/majalah2008/readstory.php?cR=1226782824&pID=5&stID=221)